Untuk membenarkan rencana kenaikan harga BBM, berbagai alasan diungkapkan Pemerintah. Sebagiannya terkesan ngaco dan ngawur. Pertama:
dikatakan bahwa anggaran yang digelontorkan selama ini salah arah.
Menurut Menteri ESDM Sudirman Said, subsidi BBM harus dialihkan untuk
hal-hal produktif. “Selama lima tahun ini subsidi BBM sudah mencapai Rp
700 triliun lebih. Jadi, kalau kita lihat ke belakang, ternyata kita
telah mengeluarkan uang hanya untuk dibakar saja,” katanya (InilahREVIEW, Edisi 12/IV). Bahkan ada ungkapan, “Masak Rp 400 triliun hanya dibakar jadi asap.” Ini sungguh ungkapan ngawur.
BBM itu seperti makanan untuk tubuh agar bisa melakukan berbagai
aktivitas produktif. Jika ditotal, ribuan triliun habis untuk makan
rakyat negeri ini. Tentu tidak ada yang berani mengatakan, “Ternyata
selama ini ribuan triliun hanya dimakan dan jadi kotoran yang dibuang.”
Faktanya, BBM digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi. Hasil dari
“pembakaran” BBM itu sangat besar dan “menghidupkan” masyarakat.
Kedua: dinyatakan bahwa subsidi BBM itu konsumtif. Alasan ini tak kalah ngaco-nya.
Harus diingat, kehidupan sehari-hari rakyat negeri ini banyak
bergantung pada BBM. Ada jutaan nelayan yang mencari ikan; jutaan petani
yang menggerakkan traktor mereka; jutaan mahasiswa, pelajar dan
pegawai/pekerja pulang-pergi menggunakan kendaraan; jutaan pengusaha
kecil dan menengah menggunakan BBM untuk menggerakkan usaha mereka.
Semua itu tentu kegiatan produktif. Semuanya bisa berjalan karena adanya
BBM yang dibakar itu. Jadi, ngawur yang bilang semua itu hanya konsumtif.
Ketiga: Dinyatakan bahwa subsidi BBM salah sasaran karena
lebih banyak dinikmati orang kaya, artinya BBM subsidi lebih banyak
diminum mobil mewah. Faktanya tidak begitu. Hasil Sensus Ekonomi
Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65%-nya adalah
rakyat kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan
hanya 2% orang kaya.
Data Korp Lalu Lintas Kepolisian RI mencatat, jumlah
kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai
104,211 juta unit. Mayoritasnya, 86,253 juta unit
adalah sepeda motor. Lalu mobil penumpang 10,54 juta unit; mobil barang
(truk, pikap, dan lainnya) 5,156 juta unit; bus 1,962 juta unit dan
kendaraan khusus 297.656 unit. Dari mobil penumpang yang 10,54 juta
unit, hanya sebagian kecil yang berupa mobil mewah, kira-kira 5%-nya.
Itu artinya, BBM subsidi yang dinikmati oleh orang kaya dan pemilik
mobil mewah sangatlah kecil, apalagi tak sedikit mobil mewah yang
memakai BBM non-subsidi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Alasan Ngawur Kenaikan BBM"
Posting Komentar