SKANDAL CENTURY: MEMBUKTIKAN KEMBALI KEBOBROKAN SISTEM KAPITALISME DAN KEBUSUKAN REZIM KOMPRADOR KAPITALISME “SAATNYA GANTI SISTEM DAN GANTI REZIM”



Skandal Century telah menjadi buah bibir banyak kalangan.  Pemberitaan yang gencar terhadap skandal ini telah memperkuat opini yang semakin meluas di tengah-tengah masyarakat. Skandal ini akhirnya menjadi bola liar yang menggelinding semakin kencang. Banyak kalangan berkepentingan terhadap bola liar ini. Ada yang mengarahkannya untuk kepentingan masyarakat, tetapi tidak sedikit juga yang berniatan negatif untuk jual beli kepentingan politik rendahan.    
Untuk lebih memahami alur permasalahan skandal Century, kita coba mengurainya menjadi 3 tahapan, yaitu: tahap merger Bank Century tahun 2004, tahap pengawasan oleh BI, dan tahap bailout yang diputuskan pada rapat KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) pada tanggal 20 dan 21 November 2008.
Permasalahan Bank Century ini sesungguhnya dimulai sejak awal pendiriannya. Diketahui, Bank CIC dan Bank Picco yang kemudian bermerger dengan Bank Danpac menjadi Bank Century adalah bank bermasalah. Bank CIC dan Bank Picco meninggalkan surat berharga tak berperingkat (alias bodong tidak dapat dicairkan) dan kredit  macet total sebanyak US$ 220 Miliar. Dengan alasan telah dijamin oleh pemilik Bank melalui penyediaan uang cash senilai itu pula, pihak BI meloloskan proses merger ketiga Bank itu menjadi Bank Century. [1]
Jika asumsi dasarnya beberapa bank merger menjadi satu bank adalah untuk memperbaiki kondisi bank tersebut, ternyata tidak terjadi pada kasus Bank Century ini. Terdapat keganjilan saat Bank Century sudah beroperasi selama 1 tahun, laporan mereka tertanggal 28 Desember 2005 menunjukkan CAR  negatif 132,5%[2]. Sepanjang riwayat Bank Century beroperasi tercatat beberapa kali nilai CAR mereka minus. Bahasa sederhananya, pada saat itu Bank Century sudah tidak punya modal apa pun untuk menjamin aset nasabah mereka secara keseluruhan. 
Permasalahan lain terjadi saat Bank Century mengajukan permohonan FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek)  pada BI senilai Rp 1 Triliun pada 30 Oktober 2008. Pada awalnya pengajuan ini ditolak karena tidak memenuhi ketentuan Peraturan BI (PBI) no. 10/26/PBI/2008  yang mensyaratkan CAR minimal 8% untuk mendapatkan FPJP. Ajaibnya, pada tanggal 14 November 2008, BI mengubah  PBI mengenai syarat pemberian FPJP dari semula CAR minimal 8% menjadi CAR minimal positif. Hal ini diduga dilakukan agar permohonan FPJP Bank Century dapat diterima (karena CAR Bank Century per September 2008 hanya posistif 2,35%).
BI akhirnya mencairkan FPJP pada Century total keseluruhan Rp 689 Miliar.  Padahal CAR Bank Century pada 30 Oktober 2008 (sebelum persetujuan FPJP) sudah dalam keadaan negatif 3.53%. Hal ini berarti bahwa Bank Century seharusnya tidak layak untuk mendapatkan FPJP, akan tetapi gubernur BI pada saat itu terus saja memberikan FPJP senilai Rp 689,39 Miliar.
Pada masa pengawasan khusus yang dimulai sejak 6 November 2008, BI meminta Bank Century untuk tidak mengijinkan penarikan dana dari rekening simpanan milik pihak uang terkait dengan bank dan atau pihak lain yang ditetapkan BI sesuai dengan PBI No 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005. Namun sesuai temuan BPK, ada penarikan oleh pihak terkait sebesar Rp. 454,898 Miliar, US$ 2,22 Juta, AU$ 164,81 Ribu dan SG$ 41,18 Ribu. Diduga, ada pihak yang berwajib yang berperan dalam penarikan dana sebanyak itu. Dari sinilah awal mula kasus “cicak versus buaya” yang sempat ramai diberitakan media beberapa waktu lalu. Hal ini menjadi indikasi berikutnya terkait dengan perselingkuhan penguasa dan konglomerat.
Rapat konsultasi panitia angket skandal Bank Century di DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rabu (16/12) mengungkap Deposito konglomerat Budi Sampoerna senilai 18 juta dolar AS milik Budi dapat dicairkan dari Bank Century, setelah ada surat dari Mantan Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji.[3]
Pada tahap pengambilan keputusan bailout terhadap Bank Century pun menuai masalah. Pada rapat konsultasi KSSK tanggal 20 November 2008 yang dipimpin oleh Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK dan Gubernur BI sebagai anggotanya. Dalam notulensi rapat ini diketahui terjadi perdebatan mengenai status Bank Century apakah termasuk bank gagal berdampak sistemik ataukah tidak. Pihak yang paling ngotot menyatakan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik sehingga perlu dibailout adalah Gubernur BI.  Hal ini yang dikemudian hari menjadi perdebatan oleh banyak kalangan.
Akhirnya rapat memutuskan untuk membailout Bank Century. Keputusan rapat ini ditindaklanjuti dengan rapat Komite Koordinasi pada tanggal 21 November 2008 pukul 05.30 s.d selesai yang dihadiri juga oleh Menteri Keuangan dan Gubernur BI ditambah dengan Ketua Dewan Komisioner LPS. LPS ditugasi menyalurkan dana bailout yang awalnya sebesar Rp. 632 Miliar dan membengkak menjadi Rp. 6,7 Triliun. Pembengkakan dana bailout ini terjadi karena untuk memenuhi batas minimal CAR 8%.
Celakanya, dana bailout Rp. 6,7 Triliun itu tak semuanya disalurkan pada jalur yang semestinya. Peraturan LPS menyatakan hanya menjamin dana nasabah di bawah Rp. 2 Miliar. Sementara belakangan terbukti, dana-dana nasabah di atas Rp 2 Miliar pun dapat dicairkan. Dana bailout yang dicairkan untuk nasabah bermodal besar itu mencapai Rp 1,8 Triliun.[4]

Mengurai Akar Masalah Skandal Century
            Skandal Century telah menjadi buah bibir banyak kalangan.  Berbagai event diskusi digelar untuk mencari akar masalah dan solusinya.  Banyak juga tulisan analisis yang menjadikan kasus ini sebagai fokus pembahasan.  Setidaknya ada tiga jenis analisis yang masing-masing memiliki rumusan berbeda.  Tiga analisis tersebut adalah analisis aspek moral hazard, analisis aspek kebijakan dan analisis aspek paradigmatik.  Kita dapat mengamati mana di antara tiga analisis ini yang mampu mengungkap akar masalah skandal Century ini    

  1. Analisis Moral Hazard
Analisis dari aspek moral hazard menempatkan sisi manusia sebagai fokus pembahasan. Moral hazard adalah suatu kondisi yang bersumber dari orang yang berkaitan dengan sikap mental dan kebiasaan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku negatif.  Dalam bahasa lain moral hazard adalah potensi perilaku negatif dilihat dari aspek manusianya.  Aroma busuk moral hazard dalam skandal century telah menyebar pada seluruh tahap baik merger, pengawasan maupun bailout.  Nuansa kecurangan, ketidakjujuran, praktek korupsi-kolusi, rekayasa perampokan uang rakyat terasa kuat bila kita amati alinea per alinea dalam laporan audit BPK.  Moral hazard telah menyebar pada semua pihak yang terlibat dalam skandal ini.  Fakta yang telah ditunjukkan sebelumnya menggambarkan secara gamblang akan hal ini.  Pemegang saham Century menunjukkan sikap nista merampok dana nasabahnya sendiri.  Divisi pengawasan BI telah membiarkan proses pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh Century. Sikap gubernur BI saat itu (Boediono) yang memaksakan kehendak untuk membailout Century juga tak terlepas dari moral hazard.  Menkeu Sri Mulyani sebagai ketua KSSK menunjukkan hal yang sama.  Pejabat LPS yang juga membiarkan pelanggaran terhadap aliran dana bailout menunjukkan moralitas yang rendah.  Nasabah-nasabah kelas kakap yang menunjukkan sikap aneh sejak awal, mengapa menanamkan uangnya pada bank kecil seperti Century yang beresiko? Ada niatan apa di hati nasabah-nasabah kelas kakap ini? Ada apa dengan pejabat kepolisian yang memberikan surat untuk meloloskan pencairan deposito nasabah kakap?  Aroma moral hazard telah tersebar di semua pihak yang terlibat dalam proses bailout Century.
Menurut analisis jenis ini, moral hazard lah yang menjadi akar masalah skandal Century. Oleh karena itu persoalannya pada manusia-manusianya, sehingga penyelesaian pada aspek manusia inilah yang penting.  Sanksi yang tegas pada siapa saja yang terlibat dalam skandal ini harus diberlakukan, tak terkecuali para pejabat yang terlibat.  Analisis ini belum mampu menyentuh akar masalah.    
    
  1. Analisis Kebijakan
Analisis aspek kebijakan fokus pada pembahasan dari ketidakadilan kebijakan.  Bailout Century sebesar 6,7 triliun adalah dana yang besar.  Dana sebesar ini digunakan hanya untuk menyelematkan Century yang jelas dari awalnya problem.  Akhirnya yang menerima keuntungan adalah para pemegang saham Century dan para deposan kelas kakap yang menjadi nasabah di bank tersebut.  Padahal para pemegang saham itu sendirilah yang menyebabkan kebangkrutan alias kegagalan bank tersebut.  Sesuatu yang sangat aneh, merekalah yang menggarong uang nasabah, mengapa rakyat yang harus menalangi uang tersebut. 
Sementara di sisi lain bantuan dana untuk gempa padang hanya 100 milyar.  Berarti dana bailout Century setara dengan 60 kali gempa Padang.  Saat ini terdapat 51 juta UMKM yang membutuhkan suntikan dana, tetapi ternyata keberpihakan pemerintah dalam hal ini sangat minim. Mengapa untuk menyelamatkan segelintir konglomerat hitam, pemerintah siap mengeluarkan 6,7 triliun, tetapi untuk jutaan UMKM kepeduliannya minim? Apabila 6,7 triliun digunakan untuk menciptakan UMKM baru maka akan terbentuk 670.000 UMKM.  Bayangkan jika per UMKM mampu mempekerjakan 10 orang maka tentunya hal ini akan berefek pada pengurangan angka pengangguran.   Apabila 6,7 triliun digunakan membangun sekolah maka akan mampu dibangun 13.000 sekolah.  Tampak jelas, rasa keadilan rakyat terlukai oleh kebijakan bailout Century. 
Saat ini beberapa kalangan yang menyepakati analisis ini sedang berusaha untuk menggulirkan langkah penggugatan kebijakan.  Dan perlunya pemerintah mempertanggungjawabkan dikeluarkannya kebijakan yang telah melukai rasa keadilan masyarakat ini.  Para pejabat yang terlibat dalam hal ini harus diperkarakan dan bila perlu melakukan impeachment kepada presiden.  Analisis ini lebih mendalam dari sekedar moral hazard, tetapi masih belum menyentuh akar masalah. 

  1. Analisis Paradigmatik
Analisis paradigmatik fokus pada aspek yang lebih mendasar dan menyentuh pada sistem yang diberlakukan di negeri ini.  Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Indonesia dikelola dengan sistem kapitalisme yang saat ini menjelma menjadi neoliberalisme,  Dari aspek ekonomi, kapitalisme menempatkan instrumen ribawi (bunga) dan sektor non riil pada posisi yang strategis.
Riba di zaman modern ini telah menjelma dan dilegitimasi oleh sistem kenegaraan. Bank Sentral yang dimiliki setiap negara menggunakan instrumen riba (bunga) sebagai dasar kebijakan moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil. Dalam ekonomi berbasis sektor moneter/keuangan inilah, kapitalisme tidak dapat dilepaskan dengan bunga (riba). Hutang-hutang riba menciptakan masalah perekonomian yang besar, hingga kadar hutang pokoknya menggelembung seiring dengan waktu, sesuai dengan prosentase riba yang diberlakukan kepadanya. Akibatnya, ketidakmampuan individu atau perusahaan dalam banyak kondisi menjadi perkara yang nyata. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya krisis pengembalian pinjaman, dan lambannya roda perekonomian, karena ketidakmampuan sebagian besar kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi.  
Sedangkan terkait dengan sektor non riil maka saat ini perdagangan di sektor ini telah sedemikian jauhnya, sehingga nilai trasanksinya berlipat ganda melebihi nilai sektor riil. Hampir semua negara di dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga/utang di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds), commercial paper, promissory notes, dsb.; perdagangan uang di pasar uang (Money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka. Sistem ekonomi non riil ini berpotensi besar untuk meruntuhkan sistem keuangan secara keseluruhan. Bursa saham yang merupakan barometer aktivitas perkonomian suatu negara tidak lebih dari sekedar arena kasino yang penuh berisi aktivitas seperti perjudian spekulasi.
Kegoncangan pada instrumen ribawi dan sektor non riil, termasuk sarana-sarana pendukungnya (perbankan, pasar modal, pasar sekunder, pasar derivatif), akan mendapat perhatian lebih dalam sistem kapitalisme.  Salah satu perhatian tersebut adalah mekanisme bailout.  Pemberian bailout merupakan resep standar ala Washington Consensus, yang menjadi rumus standar IMF dalam menyelesaikan permasalahan modal swasta, yaitu negara yang harus menanggung beban pembiayaan dan permodalan bagi sektor swasta yang bangkrut. Tentu saja pembiayaan ini pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui pembayaran pajak.  Anehnya, pendanaan bailout seringkali diselewengkan penggunaannya oleh para pemilik bank dan dibiarkan tanpa sanksi oleh pemerintah. Bahkan kadang mekanisme ini direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan politik tertentu dengan alasan krisis. Hal ini tidak menjadi masalah dalam pandangan kapitalisme, selama kepentingan strategisnya tidak terganggu. Bahkan dapat dilegalkan oleh kapitalisme ketika hal ini akan memperkuat proses imperialismenya. Inilah yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalisme terus dipertahankan oleh para pemilik modal dan penguasa, karena sangat menguntungkan mereka agar dapat terus hidup mewah melalui “perampokan” uang rakyat yang dilegalkan.
 Skandal Century sesungguhnya hanya satu contoh kecil problem yang membuktikan kebobrokan sistem kapitalisme.  Kejahatan yang dilakukan oleh pemilik bank dan para nasabah kelas kakap di bank yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara ini nyatanya direstui bahkan di-back up dengan bailout yang diberikan rezim penguasa bermental korup. Bank Indonesia – seperti terungkap pada paparan di atas  – telah melanggar dan mengubah peraturannya sendiri hanya untuk membantu mengucurkan dana pada Bank Century. Menteri Keuangan yang bertindak sebagai Ketua KSSK pun merestui bailout padahal jelas-jelas telah terjadi perampokan uang nasabah yang ditandai dengan kredit macet sehingga mengakibatkan CAR bank tersebut berkali-kali dalam posisi negatif.  Dalam hal ini, penguasa sudah berselingkuh dengan para konglomerat hitam dan untuk itu rakyatlah yang dikorbankan.  Hal yang sama pernah terjadi pada skandal Bank Bali tahun 1999 dan skandal BLBI 2004.  Ini sudah sepatutnya memberikan pelajaran bagi kita, bahwa sistem ekonomi kapitalisme-neolib hanya membela kaum pemodal kaya dan menyengsarakan rakyat kebanyakan.
Tentu kita juga masih ingat, krisis keuangan yang melanda AS pada 2008 lalu mempertontonkan di depan mata kita, pemerintah AS – yang notabene penganut kapitalisme-neolib sejati – mengambil uang rakyatnya sebanyak US$ 85 miliar untuk disalurkan pada perusahaan konglomerasi AIG, dan US$ 700 miliar untuk memulihkan sektor keuangan mereka. Hal ini membuktikan, betapa mahalnya biaya ekonomi yang harus ditanggung rakyat untuk menalangi kerugian usaha para konglomerat di sana.
Kriminolog University of Missouri, William Kurt Black menulis buku berjudul: “The Best Way to Rob a Bank Is to Own One”. [5] Secara jujur, Black yang juga mantan regulator senior yang menangani skandal tabungan dan pinjaman di AS pada akhir 1980-an ini menyatakan cara terbaik merampok bank adalah dengan membuat bank.  Pemaparan Black semakin memperkuat bahwa kejahatan para pemilik bank dengan menipu dan merampok uang nasabahnya serta berkongkalikong dengan penguasa untuk meraih keuntungan lebih banyak lagi memang jamak terjadi. Dan seperti itulah wajah sistem ekonomi kapitalisme.
Kegagalan demi kegagalan sesungguhnya telah dialami oleh sistem kapitalisme-neolib. Naomi Klein, seorang wartawati Kanada, mengungkap kebobrokan kaum neoliberal secara gamblang dalam bukunya, “Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism” (2007). Buku setebal 558 halaman itu menyingkap berbagai muslihat kaum kapitalis yang menggasak aset negara, tanpa peduli jutaan orang jatuh melarat karenanya. Para kapitalis mengarsiteki, dan mensponsori swastanisasi aset, krisis moneter, merger dan akuisisi pascakrisis, liberalisasi perdagangan, hingga gerakan politik dengan mendukung elit tertentu.
Telah sejak lama, para pengkritik neoliberal seperti ekonom dan peraih nobel Joseph E. Stiglitz, Robert Polin, sosiolog Pierre Bourdieu (1998), ahli geografi David Harvey, dan filsuf/ahli linguistik Noam Chomsky secara konsisten berpendapat bahwa neoliberalisme adalah sebuah proyek  yang menguntungkan orang kaya dan mengarah pada kesenjangan yang semakin meningkat baik di dalam negeri maupun antar negara. Stiglitz pun dengan terang-terangan menuduh penganut neolib memiliki doktrin politik untuk selalu melayani kepentingan kelompok tertentu, yaitu kaum konglomerat pemilik modal.[6]

Tampak jelas bahwa persoalan moral hazard dan kebijakan pemerintah yang melukai rasa keadilan adalah bersumber dari sistem kapitalisme-neoliberal yang diterapkan untuk mengelola negeri ini. Selama sistem ini tetap dipelihara dan dilanjutkan maka sampai kapanpun perampokan uang rakyat melalui perselingkuhan antara penguasa korup dengan konglomerat hitam akan tetap ada.  Sebatas mengganti rezim korup dan mengontrol secara ketat rezim baru yang terbentuk tidak akan pernah menyelesaikan masalah sebelum sistem kapitalisme-neolib diganti.  Karena akar masalah secara paradigmatik ada dalam konteks ini.  

Islam : Solusi Tuntas Skandal Century
Jelas sudah bagi kita, skandal Bank Century tak sekadar mempersoalkan kebusukan moral manusianya atau sebatas mempermasalahkan kebijakan bailout yang tidak adil. Namun, kita perlu mencermati pula apa yang menjadi penyebab lebih mendasar terhadap munculnya moral hazard dan kebijakan yang tidak adil tersebut.  Secara paradigmatik telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan sistem kapitalisme-neolib adalah penyebab mendasar munculnya masalah-masalah lainnya. 
Permasalahan sistemik membutuhkan penyelesaian yang sistemik pula. Solusinya harus dilakukan secara lebih fundamental, yaitu penggantian sistem kapitalisme-neoliberal dengan sistem yang diyakini lebih baik.
Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan apa yang disampaikan Dr. Abdullah Azzam bahwa pangkal hancurnya sistem kapitalisme-neolib ala Barat yaitu tidak melibatkan agama dan tidak memperdulikan Allah. Allah SWT berfirman,
“Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorangpun yang akan memberi petunjuk. Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah.” (QS. Ar-ra’d: 33-34)
Islam sebagai agama sekaligus way of life memiliki alternatif solusi sistemik yang mampu menggantikan sistem kapitalisme-neoliberal yang telah bobrok. Sistem Islam khususnya pada sistem ekonomi telah mengharamkan instrumen ribawi dan perdagangan sektor non riil. Apabila sistem ekonomi Islam diterapkan, maka tak akan dijumpai permasalahan pada dunia perbankan maupun sektor non riil yang selama ini menjadi sumber masalah pada sistem ekonomi kapitalisme. Disamping itu, Islam memiliki pandangan yang jelas tentang konsep kepemilikan sehingga jaminan kesejahteraan untuk rakyat akan mudah diwujudkan.
Ayat yang secara final mengharamkan riba adalah QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu...”. Ayat ini dengan tegas mengharamkan riba untuk selama-lamanya.
Perdagangan sektor non riil tidak sesuai dengan Islam, baik dari segi instrumen yang diperdagangkan, mekanisme transaksinya, dan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pasar modal, pasar sekunder dan pasar derivatif sebagai kelembagaan yang menaungi transaksi ini tentunya juga bertentangan Islam. Perjudian di pasar modal jauh lebih berbahaya dan lebih luas dampaknya dibandingkan dengan perjudian biasa.  Di pasar sekunder, saham dan obligasi dapat diperdagangkan dengan harga di atas nilai nominalnya ataupun di bawah harga nominal. Karenanya keuntungan yang diperoleh para investor tidak saja melalui pembagian deviden dan bunga, tetapi diperoleh dari selisih harga jual dan harga beli. Bahkan inilah tujuan utama aktivitas perdagangan saham di lantai bursa, yakni memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dan harga beli. Perekonomian yang mengandalkan pada pasar sektor non riil merupakan perekonomian yang berbasiskan pada perjudian.
Dengan mekanisme sistem Islam seperti di atas maka persoalan bailout kepada dunia perbankan maupun pasar modal dengan alasan krisis finansial maupun rekayasa perampokan uang rakyat tidak akan pernah terjadi. Hal ini dimungkinkan karena instrumen ribawi dan perdagangan sektor non riil yang menjadi sumber masalah dihilangkan dan dilarang keras dalam sistem Islam.   
Islam juga mengatur pola kepemilikan. Ada tiga macam kepemilikan dalam pandangan Islam. Pertama, kepemilikan umum yang meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas. Termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Maka, negara harus mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Kedua, kepemilikan negara yang meliputi semua kekayaan yang diambil negara, seperti pajak dengan segala bentuknya, serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.  Ketiga, kepemilikan pribadi yang merupakan kepemilikan bentuk lain yang dapat dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syara’. Dengan mekanisme kepemilikan seperti ini maka kesejahteraan rakyat akan mendapat jaminan dan harta kekayaan tidak menumpuk pada segelintir orang saja.
Dalam sistem Islam peluang munculnya pejabat atau penguasa yang korup dan mengkhianati rakyatnya akan sangat kecil. Dari aspek individu, para pejabat akan didorong untuk memelihara ketakwaannya sehingga mereka paham betul bahwa jabatannya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan rakyatnya namun juga di hadapan Allah.  Rakyat akan menjaganya melalui kontrol sosial yang ketat. Dari sisi aturan, maka seriap pejabat akan dihitung kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat.  Apabila ada kelebihan kekayaan akan dilakukan pembuktian terbalik, artinya si pejabat harus membuktikan darimana kelebihan kekayaan ia dapatkan.  Bila terbukti korup maka sanksi tegas akan dilakukan. Mekanisme seperti ini tidak pernah ditemukan dalam kapitalisme-neoliberal.

Penutup
Kerusakan sistem kapitalisme sebagai suatu hal yang pasti.  Berbagai dampak kerusakannya telah berulang kali terjadi. Akankah kita tetap diam dan membiarkan sistem rusak ini terus bercokol dan menjajah rakyat? Saatnya kita menggantinya dengan Sistem Islam yang memberikan kebaikan bukan hanya untuk umat Islam namun bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).
Kita perlu menyadari bahwa tidaklah mungkin individu, kelompok, lembaga, ataupun perusahaan, mampu menerapkan seluruh sistem Islam. Kalaupun mereka mampu, maka yang sanggup dipikul adalah hanya sebagian kecil dari aktifitas sistem Islam. Itupun sebatas individual ataupun kelompok masyarakat. Sebab mereka tidak mungkin mampu menjamin kesejahteraan per individu rakyat secara paripurna. Tugas seperti itu hanya negara (daulah)lah yang mampu memikulnya, dan negaralah yang menjamin semua kebutuhan rakyatnya secara layak baik yang Muslim maupun Non-muslim.
Dari sini menjadi beralasan bahwa penegakan Islam dan syariatnya akan sempurna dengan penyempurnaan penguasaan institusi politik berupa negara, yaitu Khilafah Islam. Tanpanya, Islam tak dapat diterapkan secara sempurna. Tanpanya pula, Islam tak mampu hadir sebagai solusi setiap permasalahan yang dijumpai di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita simak pesan yang disampaikan oleh Sayyid Qutub, “Tabiat Agama tidak menetapkan jalan pintas menuju akhirat tanpa melalui kehidupan dunia. Ia juga tidak menetapkan surga yang selalu diharapkan oleh manusia, tanpa melalui amal di dunia, dengan pemerintahan dan khilafah yang diridhai manhajnya oleh Allah SWT.”[7]
Wallahu’alam.


[1] Sumber berita: http://www.detikfinance.com/read/2009/10/02/125019/1213677/5/bank-century-warisi-aset-busuk-bank-cic-dan-bank-pikko
[2] Sumber data: Laporan  Kemajuan Pemeriksaan Investigasi atas Kasus Bank Century yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan pada Presiden SBY pada tanggal 23 November 2009.
[3] Sumber berita: http://republika.co.id/berita/96437/Surat_Susno_Selamatkan_18_Juta_Dolar_Milik_Budi_Sampoerna
[4] Sumber berita: http://www.ipotindonesia.com/news.php?page=detail&id=320212
[5] Buku ini dicetak oleh University of Texas pada 2005 lalu. Dalam buku ini Black mengungkap skandal tabungan dan pinjaman (Savings and Loan) pada 1980-an, Black menelanjangi strategi para CEO yang korup -dalam kolusi dengan para pemegang kebijakan- untuk menipu demi keuntungan pribadi mereka. Black juga menuliskan penyelidikannya tentang peraturan yang lemah yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan penipuan secara besar-besaran. Sebagian isi buku ini dapat dibaca di http://books.google.co.id/books?id=SI3F8wEuT24C&lpg=PP1&dq=review%20The%20Best%20Way%20to%20Rob%20a%20Bank%20Is%20to%20Own%20One&pg=PP1#v=onepage&q=&f=false
[6] Stiglitz pernah menulis paper dengan judul “The End of Neo-liberalisme?” yang disebarluaskan oleh Project Syndicate pada 2008 yang lalu. Tulisan lengkapnya dapat dilihat di http://www.project-syndicate.org/commentary/stiglitz101
[7] Sayyid Qutub menyampaikan pesan ini dalam bukunya, Al Mustaqbal Lihadza Ad-Din (Masa Depan Ada Pada Islam).

0 Response to "SKANDAL CENTURY: MEMBUKTIKAN KEMBALI KEBOBROKAN SISTEM KAPITALISME DAN KEBUSUKAN REZIM KOMPRADOR KAPITALISME “SAATNYA GANTI SISTEM DAN GANTI REZIM”"

Posting Komentar