Skandal Century telah menjadi buah
bibir banyak kalangan. Pemberitaan yang
gencar terhadap skandal ini telah memperkuat opini yang semakin meluas di
tengah-tengah masyarakat. Skandal ini akhirnya menjadi bola liar yang
menggelinding semakin kencang. Banyak kalangan berkepentingan terhadap bola
liar ini. Ada yang mengarahkannya untuk kepentingan masyarakat, tetapi tidak
sedikit juga yang berniatan negatif untuk jual beli kepentingan politik
rendahan.
Untuk lebih
memahami alur permasalahan skandal Century, kita coba mengurainya menjadi 3 tahapan, yaitu: tahap merger Bank Century
tahun 2004, tahap pengawasan oleh BI, dan tahap bailout yang diputuskan pada
rapat KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) pada tanggal 20 dan 21 November
2008.
Permasalahan
Bank Century ini sesungguhnya dimulai sejak awal pendiriannya. Diketahui, Bank
CIC dan Bank Picco yang kemudian bermerger dengan Bank Danpac menjadi Bank
Century adalah bank bermasalah. Bank CIC dan Bank Picco meninggalkan surat
berharga tak berperingkat (alias bodong tidak
dapat dicairkan) dan kredit macet total
sebanyak US$ 220 Miliar. Dengan alasan telah dijamin oleh pemilik Bank melalui
penyediaan uang cash senilai itu pula, pihak BI meloloskan proses merger ketiga
Bank itu menjadi Bank Century. [1]
Jika asumsi
dasarnya beberapa bank merger menjadi satu bank adalah untuk memperbaiki
kondisi bank tersebut, ternyata tidak terjadi pada kasus Bank Century ini.
Terdapat keganjilan
saat Bank Century sudah beroperasi selama 1 tahun, laporan mereka tertanggal 28
Desember 2005 menunjukkan CAR negatif
132,5%[2].
Sepanjang riwayat Bank Century beroperasi tercatat beberapa kali nilai CAR
mereka minus. Bahasa sederhananya, pada saat itu Bank Century sudah tidak punya
modal apa pun untuk menjamin aset nasabah mereka secara keseluruhan.
Permasalahan
lain terjadi saat Bank Century mengajukan permohonan FPJP (Fasilitas Pinjaman
Jangka Pendek) pada BI senilai Rp 1
Triliun pada 30 Oktober 2008. Pada awalnya pengajuan ini ditolak karena tidak
memenuhi ketentuan Peraturan BI (PBI) no. 10/26/PBI/2008 yang mensyaratkan CAR minimal 8% untuk
mendapatkan FPJP. Ajaibnya, pada tanggal 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai syarat pemberian FPJP dari
semula CAR minimal 8% menjadi CAR minimal positif. Hal ini diduga dilakukan
agar permohonan FPJP Bank Century dapat diterima (karena CAR Bank Century per
September 2008 hanya posistif 2,35%).
BI akhirnya
mencairkan FPJP pada Century total keseluruhan Rp 689 Miliar. Padahal CAR Bank Century pada 30 Oktober 2008
(sebelum persetujuan FPJP) sudah dalam keadaan negatif 3.53%. Hal ini berarti
bahwa Bank Century seharusnya tidak layak untuk mendapatkan FPJP, akan tetapi
gubernur BI pada saat itu terus saja memberikan FPJP senilai Rp 689,39 Miliar.
Pada masa
pengawasan khusus yang dimulai sejak 6 November 2008, BI meminta Bank Century
untuk tidak mengijinkan penarikan dana dari rekening simpanan milik pihak uang
terkait dengan bank dan atau pihak lain yang ditetapkan BI sesuai dengan PBI No
6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank
sebagaimana diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005. Namun sesuai temuan BPK, ada
penarikan oleh pihak terkait sebesar Rp. 454,898 Miliar, US$ 2,22 Juta, AU$
164,81 Ribu dan SG$ 41,18 Ribu. Diduga, ada pihak yang berwajib yang berperan
dalam penarikan dana sebanyak itu. Dari sinilah awal mula kasus “cicak versus
buaya” yang sempat ramai diberitakan media beberapa waktu lalu. Hal ini menjadi
indikasi berikutnya terkait dengan perselingkuhan penguasa dan konglomerat.
Rapat
konsultasi panitia angket skandal Bank Century di DPR dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Rabu (16/12) mengungkap Deposito konglomerat Budi Sampoerna
senilai 18 juta dolar AS milik Budi dapat dicairkan dari Bank Century, setelah
ada surat dari Mantan Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji.[3]
Pada tahap
pengambilan keputusan bailout terhadap Bank Century pun menuai masalah. Pada
rapat konsultasi KSSK tanggal 20 November 2008 yang dipimpin oleh Menteri
Keuangan sebagai Ketua KSSK dan Gubernur BI sebagai anggotanya. Dalam notulensi
rapat ini diketahui terjadi perdebatan mengenai status Bank Century apakah
termasuk bank gagal berdampak sistemik ataukah tidak. Pihak yang paling ngotot
menyatakan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik sehingga
perlu dibailout adalah Gubernur BI. Hal
ini yang dikemudian hari menjadi perdebatan oleh banyak kalangan.
Akhirnya rapat
memutuskan untuk membailout Bank Century. Keputusan rapat ini ditindaklanjuti
dengan rapat Komite Koordinasi pada tanggal 21 November 2008 pukul 05.30 s.d
selesai yang dihadiri juga oleh Menteri Keuangan dan Gubernur BI ditambah
dengan Ketua Dewan Komisioner LPS. LPS ditugasi menyalurkan dana bailout yang
awalnya sebesar Rp. 632 Miliar dan membengkak menjadi Rp. 6,7 Triliun.
Pembengkakan dana bailout ini terjadi karena untuk memenuhi batas minimal CAR
8%.
Celakanya, dana
bailout Rp. 6,7 Triliun itu tak semuanya disalurkan pada jalur yang semestinya.
Peraturan LPS menyatakan hanya menjamin dana nasabah di bawah Rp. 2 Miliar.
Sementara belakangan terbukti, dana-dana nasabah di atas Rp 2 Miliar pun dapat
dicairkan. Dana bailout yang dicairkan untuk nasabah bermodal besar itu
mencapai Rp 1,8 Triliun.[4]
Mengurai Akar
Masalah Skandal Century
Skandal
Century telah menjadi buah bibir banyak kalangan. Berbagai event diskusi digelar untuk mencari
akar masalah dan solusinya. Banyak juga
tulisan analisis yang menjadikan kasus ini sebagai fokus pembahasan. Setidaknya ada tiga jenis analisis yang
masing-masing memiliki rumusan berbeda.
Tiga analisis tersebut adalah analisis aspek moral hazard, analisis
aspek kebijakan dan analisis aspek paradigmatik. Kita dapat mengamati mana di antara tiga
analisis ini yang mampu mengungkap akar masalah skandal Century ini
- Analisis Moral Hazard
Analisis dari aspek moral hazard menempatkan sisi manusia
sebagai fokus pembahasan. Moral hazard adalah suatu kondisi yang bersumber dari
orang yang berkaitan dengan sikap mental dan kebiasaan yang dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya perilaku negatif.
Dalam bahasa lain moral hazard adalah potensi perilaku negatif dilihat
dari aspek manusianya. Aroma busuk moral
hazard dalam skandal century telah menyebar pada seluruh tahap baik merger,
pengawasan maupun bailout. Nuansa
kecurangan, ketidakjujuran, praktek korupsi-kolusi, rekayasa perampokan uang
rakyat terasa kuat bila kita amati alinea per alinea dalam laporan audit
BPK. Moral hazard telah menyebar pada
semua pihak yang terlibat dalam skandal ini.
Fakta yang telah ditunjukkan sebelumnya menggambarkan secara gamblang
akan hal ini. Pemegang saham Century
menunjukkan sikap nista merampok dana nasabahnya sendiri. Divisi pengawasan BI telah membiarkan proses
pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh Century. Sikap gubernur BI
saat itu (Boediono) yang memaksakan kehendak untuk membailout Century juga tak
terlepas dari moral hazard. Menkeu Sri Mulyani
sebagai ketua KSSK menunjukkan hal yang sama.
Pejabat LPS yang juga membiarkan pelanggaran terhadap aliran dana
bailout menunjukkan moralitas yang rendah.
Nasabah-nasabah kelas kakap yang menunjukkan sikap aneh sejak awal,
mengapa menanamkan uangnya pada bank kecil seperti Century yang beresiko? Ada
niatan apa di hati nasabah-nasabah kelas kakap ini? Ada apa dengan pejabat
kepolisian yang memberikan surat untuk meloloskan pencairan deposito nasabah
kakap? Aroma moral hazard telah tersebar
di semua pihak yang terlibat dalam proses bailout Century.
Menurut analisis jenis ini, moral hazard lah yang menjadi
akar masalah skandal Century. Oleh karena itu persoalannya pada
manusia-manusianya, sehingga penyelesaian pada aspek manusia inilah yang
penting. Sanksi yang tegas pada siapa
saja yang terlibat dalam skandal ini harus diberlakukan, tak terkecuali para
pejabat yang terlibat. Analisis ini belum mampu menyentuh akar
masalah.
- Analisis Kebijakan
Analisis aspek kebijakan fokus pada pembahasan dari
ketidakadilan kebijakan. Bailout Century
sebesar 6,7 triliun adalah dana yang besar.
Dana sebesar ini digunakan hanya untuk menyelematkan Century yang jelas
dari awalnya problem. Akhirnya yang
menerima keuntungan adalah para pemegang saham Century dan para deposan kelas
kakap yang menjadi nasabah di bank tersebut.
Padahal para pemegang saham itu sendirilah yang menyebabkan kebangkrutan
alias kegagalan bank tersebut. Sesuatu
yang sangat aneh, merekalah yang menggarong uang nasabah, mengapa rakyat yang
harus menalangi uang tersebut.
Sementara di sisi lain bantuan dana untuk gempa padang hanya
100 milyar. Berarti dana bailout Century
setara dengan 60 kali gempa Padang. Saat
ini terdapat 51 juta UMKM yang membutuhkan suntikan dana, tetapi ternyata keberpihakan
pemerintah dalam hal ini sangat minim. Mengapa untuk menyelamatkan segelintir
konglomerat hitam, pemerintah siap mengeluarkan 6,7 triliun, tetapi untuk
jutaan UMKM kepeduliannya minim? Apabila 6,7 triliun digunakan untuk
menciptakan UMKM baru maka akan terbentuk 670.000 UMKM. Bayangkan jika per UMKM mampu mempekerjakan
10 orang maka tentunya hal ini akan berefek pada pengurangan angka
pengangguran. Apabila 6,7 triliun
digunakan membangun sekolah maka akan mampu dibangun 13.000 sekolah. Tampak jelas, rasa keadilan rakyat terlukai
oleh kebijakan bailout Century.
Saat ini beberapa kalangan yang menyepakati analisis ini
sedang berusaha untuk menggulirkan langkah penggugatan kebijakan. Dan perlunya pemerintah
mempertanggungjawabkan dikeluarkannya kebijakan yang telah melukai rasa
keadilan masyarakat ini. Para pejabat
yang terlibat dalam hal ini harus diperkarakan dan bila perlu melakukan
impeachment kepada presiden. Analisis ini lebih mendalam dari sekedar
moral hazard, tetapi masih belum menyentuh akar masalah.
- Analisis Paradigmatik
Analisis paradigmatik fokus pada aspek yang lebih mendasar
dan menyentuh pada sistem yang diberlakukan di negeri ini. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Indonesia
dikelola dengan sistem kapitalisme yang saat ini menjelma menjadi
neoliberalisme, Dari aspek ekonomi,
kapitalisme menempatkan instrumen ribawi (bunga) dan sektor non riil pada
posisi yang strategis.
Riba di zaman modern ini telah
menjelma dan dilegitimasi oleh sistem kenegaraan. Bank Sentral yang dimiliki
setiap negara menggunakan instrumen riba (bunga) sebagai dasar kebijakan
moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil. Dalam
ekonomi berbasis sektor moneter/keuangan inilah, kapitalisme tidak dapat
dilepaskan dengan bunga (riba). Hutang-hutang riba menciptakan masalah
perekonomian yang besar, hingga kadar hutang pokoknya menggelembung seiring
dengan waktu, sesuai dengan prosentase riba yang diberlakukan kepadanya.
Akibatnya, ketidakmampuan individu atau perusahaan dalam banyak kondisi menjadi
perkara yang nyata. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya krisis pengembalian
pinjaman, dan lambannya roda perekonomian, karena ketidakmampuan sebagian besar
kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi.
Sedangkan terkait dengan sektor non riil
maka saat ini perdagangan di sektor ini telah sedemikian jauhnya, sehingga
nilai trasanksinya berlipat ganda melebihi nilai sektor riil. Hampir semua
negara di dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat
berharga/utang di bursa saham (stock
exchange) berupa saham, obligasi (bonds),
commercial paper, promissory notes,
dsb.; perdagangan uang di pasar uang (Money market); serta perdagangan
derivatif di bursa berjangka. Sistem ekonomi non riil ini berpotensi besar
untuk meruntuhkan sistem keuangan secara keseluruhan. Bursa saham yang
merupakan barometer aktivitas perkonomian suatu negara tidak lebih dari sekedar
arena kasino yang penuh berisi aktivitas seperti perjudian spekulasi.
Kegoncangan pada instrumen ribawi dan sektor non riil,
termasuk sarana-sarana pendukungnya (perbankan, pasar modal, pasar sekunder,
pasar derivatif), akan mendapat perhatian lebih dalam sistem kapitalisme. Salah satu perhatian tersebut adalah
mekanisme bailout. Pemberian bailout
merupakan resep standar ala Washington Consensus, yang menjadi rumus standar
IMF dalam menyelesaikan permasalahan modal swasta, yaitu negara yang harus
menanggung beban pembiayaan dan permodalan bagi sektor swasta yang bangkrut.
Tentu saja pembiayaan ini pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui
pembayaran pajak. Anehnya, pendanaan
bailout seringkali diselewengkan penggunaannya oleh para pemilik bank dan
dibiarkan tanpa sanksi oleh pemerintah. Bahkan kadang mekanisme ini direkayasa
sedemikian rupa demi kepentingan politik tertentu dengan alasan krisis. Hal ini
tidak menjadi masalah dalam pandangan kapitalisme, selama kepentingan
strategisnya tidak terganggu. Bahkan dapat dilegalkan oleh kapitalisme ketika
hal ini akan memperkuat proses imperialismenya. Inilah yang menyebabkan sistem
ekonomi kapitalisme terus dipertahankan oleh para pemilik modal dan penguasa,
karena sangat menguntungkan mereka agar dapat terus hidup mewah melalui
“perampokan” uang rakyat yang dilegalkan.
Skandal Century
sesungguhnya hanya satu contoh kecil problem yang membuktikan kebobrokan sistem kapitalisme. Kejahatan yang
dilakukan oleh pemilik bank dan para nasabah kelas kakap di bank yang kini
berubah nama menjadi Bank Mutiara ini nyatanya direstui bahkan di-back up
dengan bailout yang diberikan rezim penguasa bermental korup. Bank Indonesia – seperti terungkap pada paparan di atas – telah melanggar dan mengubah peraturannya
sendiri hanya untuk membantu mengucurkan dana pada Bank Century. Menteri
Keuangan yang bertindak sebagai Ketua KSSK pun merestui bailout padahal
jelas-jelas telah terjadi perampokan uang nasabah yang ditandai dengan kredit
macet sehingga mengakibatkan CAR bank tersebut berkali-kali dalam posisi
negatif. Dalam hal ini, penguasa sudah
berselingkuh dengan para konglomerat hitam dan untuk itu rakyatlah yang dikorbankan.
Hal yang sama pernah terjadi pada skandal Bank Bali tahun 1999 dan skandal BLBI 2004.
Ini sudah
sepatutnya memberikan pelajaran bagi kita, bahwa sistem ekonomi
kapitalisme-neolib hanya membela kaum pemodal kaya dan menyengsarakan rakyat
kebanyakan.
Tentu kita juga masih ingat, krisis keuangan yang
melanda AS pada 2008 lalu mempertontonkan di depan mata kita, pemerintah AS –
yang notabene penganut kapitalisme-neolib sejati – mengambil uang rakyatnya
sebanyak US$ 85 miliar untuk disalurkan pada perusahaan konglomerasi AIG, dan
US$ 700 miliar untuk memulihkan sektor keuangan mereka. Hal ini membuktikan,
betapa mahalnya biaya ekonomi yang harus ditanggung rakyat untuk menalangi
kerugian usaha para konglomerat di sana.
Kriminolog University of Missouri,
William Kurt Black menulis buku berjudul: “The Best Way to Rob a Bank Is to Own
One”. [5]
Secara jujur, Black yang juga mantan regulator senior yang menangani skandal
tabungan dan pinjaman di AS pada akhir 1980-an ini menyatakan cara terbaik
merampok bank adalah dengan membuat bank.
Pemaparan Black semakin memperkuat bahwa kejahatan para pemilik bank dengan menipu dan merampok uang
nasabahnya serta berkongkalikong dengan penguasa untuk meraih keuntungan lebih
banyak lagi memang jamak terjadi. Dan seperti itulah wajah sistem ekonomi
kapitalisme.
Kegagalan demi kegagalan
sesungguhnya telah dialami oleh sistem kapitalisme-neolib. Naomi Klein, seorang
wartawati Kanada, mengungkap kebobrokan kaum neoliberal secara gamblang dalam bukunya,
“Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism” (2007). Buku setebal 558
halaman itu menyingkap berbagai muslihat kaum kapitalis yang menggasak aset
negara, tanpa peduli jutaan orang jatuh melarat karenanya. Para kapitalis
mengarsiteki, dan mensponsori swastanisasi aset, krisis moneter, merger dan
akuisisi pascakrisis, liberalisasi perdagangan, hingga gerakan politik dengan
mendukung elit tertentu.
Telah sejak lama, para pengkritik
neoliberal seperti ekonom dan peraih nobel Joseph E. Stiglitz, Robert Polin,
sosiolog Pierre Bourdieu (1998), ahli geografi David Harvey, dan filsuf/ahli
linguistik Noam Chomsky secara konsisten berpendapat bahwa neoliberalisme
adalah sebuah proyek yang menguntungkan
orang kaya dan mengarah pada kesenjangan yang semakin meningkat baik di dalam
negeri maupun antar negara. Stiglitz pun dengan terang-terangan menuduh
penganut neolib memiliki doktrin politik untuk selalu melayani kepentingan
kelompok tertentu, yaitu kaum konglomerat pemilik modal.[6]
Tampak jelas bahwa persoalan moral
hazard dan kebijakan pemerintah yang melukai rasa keadilan adalah bersumber
dari sistem kapitalisme-neoliberal yang diterapkan untuk mengelola negeri ini.
Selama sistem ini tetap dipelihara dan dilanjutkan maka sampai kapanpun
perampokan uang rakyat melalui perselingkuhan antara penguasa korup dengan
konglomerat hitam akan tetap ada.
Sebatas mengganti rezim korup dan mengontrol secara ketat rezim baru
yang terbentuk tidak akan pernah menyelesaikan masalah sebelum sistem
kapitalisme-neolib diganti. Karena akar
masalah secara paradigmatik ada dalam konteks ini.
Islam : Solusi
Tuntas Skandal Century
Jelas sudah
bagi kita, skandal Bank Century tak sekadar mempersoalkan kebusukan moral manusianya atau sebatas mempermasalahkan
kebijakan bailout yang
tidak adil. Namun, kita perlu mencermati pula apa yang menjadi
penyebab lebih
mendasar terhadap munculnya moral hazard dan kebijakan yang tidak adil
tersebut. Secara paradigmatik telah
dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan sistem kapitalisme-neolib adalah penyebab
mendasar munculnya masalah-masalah lainnya.
Permasalahan sistemik membutuhkan penyelesaian yang sistemik pula. Solusinya harus dilakukan secara
lebih fundamental, yaitu penggantian sistem kapitalisme-neoliberal dengan sistem
yang diyakini lebih baik.
Dalam konteks
ini, menarik untuk memperhatikan apa yang disampaikan Dr. Abdullah Azzam bahwa
pangkal hancurnya sistem kapitalisme-neolib ala Barat yaitu tidak melibatkan
agama dan tidak memperdulikan Allah. Allah SWT
berfirman,
“Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorangpun
yang akan memberi petunjuk. Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan
sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang
pelindungpun dari (azab) Allah.” (QS. Ar-ra’d: 33-34)
Islam sebagai
agama sekaligus way of life memiliki
alternatif solusi sistemik yang mampu
menggantikan sistem kapitalisme-neoliberal yang telah bobrok. Sistem Islam khususnya pada sistem
ekonomi telah mengharamkan instrumen
ribawi dan
perdagangan sektor non riil. Apabila sistem
ekonomi Islam diterapkan, maka tak akan dijumpai permasalahan pada dunia
perbankan maupun sektor non riil yang selama ini menjadi sumber masalah pada
sistem ekonomi kapitalisme.
Disamping itu, Islam memiliki pandangan yang jelas tentang konsep kepemilikan
sehingga jaminan kesejahteraan untuk rakyat akan mudah diwujudkan.
Ayat yang secara final mengharamkan
riba adalah QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah
apa yang tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu...”. Ayat ini dengan tegas mengharamkan riba untuk
selama-lamanya.
Perdagangan sektor non riil tidak sesuai dengan
Islam, baik dari segi
instrumen yang diperdagangkan, mekanisme transaksinya, dan berbagai dampak yang
ditimbulkannya. Pasar
modal, pasar sekunder dan pasar derivatif sebagai kelembagaan yang menaungi
transaksi ini tentunya juga bertentangan Islam. Perjudian di pasar
modal jauh lebih berbahaya dan lebih luas dampaknya dibandingkan dengan
perjudian biasa. Di pasar sekunder, saham dan obligasi dapat
diperdagangkan dengan harga di atas nilai nominalnya ataupun di bawah harga
nominal. Karenanya keuntungan yang diperoleh para investor tidak saja melalui
pembagian deviden dan bunga, tetapi diperoleh dari selisih harga jual dan harga
beli. Bahkan inilah tujuan utama aktivitas perdagangan saham di lantai bursa,
yakni memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dan harga beli. Perekonomian yang
mengandalkan pada pasar sektor non riil merupakan perekonomian yang berbasiskan
pada perjudian.
Dengan
mekanisme sistem Islam seperti di atas maka persoalan bailout kepada dunia
perbankan maupun pasar modal dengan alasan krisis finansial maupun rekayasa
perampokan uang rakyat tidak akan pernah terjadi. Hal ini dimungkinkan karena
instrumen ribawi dan perdagangan sektor non riil yang menjadi sumber masalah
dihilangkan dan dilarang keras dalam sistem Islam.
Islam juga mengatur pola
kepemilikan. Ada tiga macam kepemilikan dalam pandangan Islam. Pertama, kepemilikan umum yang meliputi semua sumber, baik
yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas.
Termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga
industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Maka, negara
harus mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk
barang maupun jasa. Kedua, kepemilikan
negara yang meliputi semua kekayaan yang diambil negara,
seperti pajak dengan segala bentuknya, serta perdagangan, industri dan
pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini
dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara. Ketiga, kepemilikan
pribadi yang merupakan kepemilikan bentuk lain yang dapat dikelola oleh
individu sesuai dengan hukum syara’. Dengan mekanisme kepemilikan seperti ini
maka kesejahteraan rakyat akan mendapat jaminan dan harta kekayaan tidak
menumpuk pada segelintir orang saja.
Dalam sistem
Islam peluang
munculnya pejabat atau penguasa yang korup dan mengkhianati rakyatnya akan sangat kecil. Dari aspek individu, para pejabat akan
didorong untuk memelihara ketakwaannya sehingga mereka paham betul
bahwa jabatannya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, tidak hanya di
hadapan rakyatnya namun juga di hadapan Allah. Rakyat akan
menjaganya melalui kontrol sosial yang ketat. Dari sisi aturan, maka seriap
pejabat akan dihitung kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Apabila ada kelebihan kekayaan akan dilakukan
pembuktian terbalik, artinya si pejabat harus membuktikan darimana kelebihan
kekayaan ia dapatkan. Bila terbukti
korup maka sanksi tegas akan dilakukan. Mekanisme seperti ini tidak pernah
ditemukan dalam kapitalisme-neoliberal.
Penutup
Kerusakan
sistem kapitalisme sebagai suatu hal yang pasti. Berbagai dampak kerusakannya telah berulang kali terjadi.
Akankah kita tetap diam dan membiarkan sistem rusak ini terus bercokol dan menjajah rakyat?
Saatnya kita menggantinya dengan Sistem Islam yang memberikan kebaikan bukan
hanya untuk umat Islam namun bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).
Kita perlu menyadari bahwa tidaklah mungkin individu,
kelompok, lembaga, ataupun perusahaan, mampu menerapkan seluruh sistem Islam.
Kalaupun mereka mampu, maka yang sanggup dipikul adalah hanya sebagian kecil
dari aktifitas sistem Islam. Itupun sebatas individual ataupun kelompok
masyarakat. Sebab mereka tidak mungkin mampu menjamin kesejahteraan per
individu rakyat secara paripurna. Tugas seperti itu hanya negara (daulah)lah
yang mampu memikulnya, dan negaralah yang menjamin semua kebutuhan rakyatnya
secara layak baik yang Muslim maupun Non-muslim.
Dari sini
menjadi beralasan bahwa penegakan Islam dan syariatnya akan sempurna dengan
penyempurnaan penguasaan institusi politik berupa negara, yaitu Khilafah Islam.
Tanpanya, Islam tak dapat diterapkan secara sempurna. Tanpanya pula, Islam tak
mampu hadir sebagai solusi setiap permasalahan yang dijumpai di tengah-tengah
masyarakat.
Sebagai penutup
tulisan ini, mari kita simak pesan yang disampaikan oleh Sayyid Qutub, “Tabiat Agama tidak menetapkan jalan pintas
menuju akhirat tanpa melalui kehidupan dunia. Ia juga tidak menetapkan surga
yang selalu diharapkan oleh manusia, tanpa melalui amal di dunia, dengan
pemerintahan dan khilafah yang diridhai manhajnya oleh Allah SWT.”[7]
Wallahu’alam.
[1] Sumber berita: http://www.detikfinance.com/read/2009/10/02/125019/1213677/5/bank-century-warisi-aset-busuk-bank-cic-dan-bank-pikko
[2] Sumber data: Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi atas Kasus
Bank Century yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
diserahkan pada Presiden SBY pada tanggal 23 November 2009.
[3] Sumber berita: http://republika.co.id/berita/96437/Surat_Susno_Selamatkan_18_Juta_Dolar_Milik_Budi_Sampoerna
[4] Sumber berita: http://www.ipotindonesia.com/news.php?page=detail&id=320212
[5] Buku ini dicetak oleh University of Texas pada
2005 lalu. Dalam buku ini Black mengungkap skandal tabungan dan pinjaman
(Savings and Loan) pada 1980-an,
Black menelanjangi strategi para CEO yang korup -dalam kolusi dengan
para pemegang kebijakan- untuk
menipu demi keuntungan pribadi
mereka. Black juga menuliskan penyelidikannya tentang peraturan yang
lemah yang kemudian dimanfaatkan untuk
melakukan penipuan secara besar-besaran. Sebagian isi buku
ini dapat dibaca di
http://books.google.co.id/books?id=SI3F8wEuT24C&lpg=PP1&dq=review%20The%20Best%20Way%20to%20Rob%20a%20Bank%20Is%20to%20Own%20One&pg=PP1#v=onepage&q=&f=false
[6] Stiglitz pernah menulis paper dengan judul “The
End of Neo-liberalisme?” yang disebarluaskan oleh Project Syndicate pada 2008
yang lalu. Tulisan lengkapnya dapat dilihat di
http://www.project-syndicate.org/commentary/stiglitz101
[7] Sayyid Qutub menyampaikan pesan ini dalam
bukunya, Al Mustaqbal Lihadza Ad-Din (Masa
Depan Ada Pada Islam).
0 Response to "SKANDAL CENTURY: MEMBUKTIKAN KEMBALI KEBOBROKAN SISTEM KAPITALISME DAN KEBUSUKAN REZIM KOMPRADOR KAPITALISME “SAATNYA GANTI SISTEM DAN GANTI REZIM”"
Posting Komentar